Spenden und Sammlungen gehören seit Alters her fest zum Gottesdienst der christlichen Gemeinde. Sie richten sich als Ausdruck des Dankes an Gott, nehmen aber gleichzeitig als Zeichen der Solidarität und vor allem der Nächstenliebe den Mitmenschen in den Blick.
Bei den Kollekten sieht die Kollektenordnung der EKHN verbindliche, empfohlene und freigestellte Kollekten vor.
Kollekten, deren Erhebung verbindlich für alle Kirchengemeinden vorgeschrieben ist, werden von der Kirchensynode für zwei Jahre festgelegt. Die freigestellten Kollekten werden vom Kirchenvorstand der Evangelischen Kristusgemeinde festgelegt. Die Zweckbestimmung der Kollekte wird im jeweiligen Gottesdienst der Gemeinde mit einer entsprechenden Empfehlung bekannt gegeben.
Reisten wir früher für ökumenische Begegnungen und Erfahrungen in die Ferne, haben wir heute ökumenische Partner vor Ort, die bleiben. Wie verändert sich damit die „weltweite Ökumene“, der Blick auf „unser“ Christentum und den partnerschaftlichen Ansatz der ökumenischen Bewegung?
Wer findet sich unter den neuen Nachbarn? Bieten sich gemeinsam genutzte Räume, Gemeindehäuser und Kirchen für ökumenische Begegnungen an? Welche Interessen verbinden sich für die Beteiligten damit?
Als einer unserer Mitgliedsgemeinden wird Frank Madrikan von der Ev. Indonesischen Kristusgemeinde Rhein-Main, am Samstag um ca. 16:30 Uhr aus einem innerevangelischen Ökumenemodell berichten.
Leitung
Studienleiterin Pfrin. Christina Schnepel, Evangelische Akademie Hofgeismar
Joachim Bundschuh, Zentrum Oekumene, Frankfurt/Main
Dr. Aguswati Hildebrandt Rambe, Fachstelle Interkulturell Evangelisch in Bayern (ELKB), München
SchülerInnen/Studierende/Auszubildende bis 35 Jahre erhalten 50 % Ermäßigung. Nicht in Anspruch genommene Leistungen werden nicht erstattet.
Alle Preise werden aus kirchlichen Mitteln subventioniert. Weitere Ermäßigungen aus sozialen Gründen können in Ausnahmefällen gewährt werden.
Die Tagungskosten sind bei Anreise zu begleichen (Barzahlung oder EC-Karte).
Endlich aber seid allesamt gleich gesinnt, mitleidig, brüderlich, barmherzig, demütig. 9 Vergeltet nicht Böses mit Bösem oder Scheltwort mit Scheltwort, sondern segnet vielmehr, weil ihr dazu berufen seid, auf dass ihr Segen erbt. 10 Denn »wer das Leben lieben und gute Tage sehen will, der hüte seine Zunge, dass sie nichts Böses rede, und seine Lippen, dass sie nicht betrügen. 11 Er wende sich ab vom Bösen und tue Gutes; er suche Frieden und jage ihm nach. 12 Denn die Augen des Herrn sehen auf die Gerechten, und seine Ohren hören auf ihr Gebet; das Angesicht des Herrn aber sieht auf die, die Böses tun.«
Ehrenamtlicher Dienst zum 4. Sonntag nach Trinitatis
Predigt: Pfarrerin Junita Rondonuwu-Lasut (Evangelische Indonesische Kristusgemeinde Rhein-Main)
Liturgie: Herr Viktor Aritonang
Musik: Herr Leandro Christian
Bibellesung: Herr Michael Hizkia
Kindergottesdienst: Frau Riany Lengkong und Frau Inke Rondonuwu
Abkündigung: Herr Jens Balondo
Verpflegung: Damai sejahtera
Schlüsseldienst: Herr Frank Madrikan
Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, 9 dan janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, atau caci maki dengan caci maki, tetapi sebaliknya, hendaklah kamu memberkati, karena untuk itulah kamu dipanggil, yaitu untuk memperoleh berkat. Sebab: 10 “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. 11 Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya. 12 Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong,
tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat.”
Pemberitahuan Pelayanan Hari Minggu Keempat setelah Trinitatis
Und das ist die Botschaft, die wir von ihm gehört haben und euch verkündigen: Gott ist Licht, und in ihm ist keine Finsternis. 6 Wenn wir sagen, dass wir Gemeinschaft mit ihm haben, und wandeln doch in der Finsternis, so lügen wir und tun nicht die Wahrheit. 7 Wenn wir aber im Licht wandeln, wie er im Licht ist, so haben wir Gemeinschaft untereinander, und das Blut Jesu, seines Sohnes, macht uns rein von aller Sünde.
8 Wenn wir sagen, wir haben keine Sünde, so betrügen wir uns selbst, und die Wahrheit ist nicht in uns. 9 Wenn wir aber unsre Sünden bekennen, so ist er treu und gerecht, dass er uns die Sünden vergibt und reinigt uns von aller Ungerechtigkeit. 10 Wenn wir sagen, wir haben nicht gesündigt, so machen wir ihn zum Lügner, und sein Wort ist nicht in uns.
Christus der Fürsprecher
Meine Kinder, dies schreibe ich euch, damit ihr nicht sündigt. Und wenn jemand sündigt, so haben wir einen Fürsprecher bei dem Vater, Jesus Christus, der gerecht ist. 2 Und er selbst ist die Versöhnung für unsre Sünden, nicht allein aber für die unseren, sondern auch für die der ganzen Welt.
3 Und daran merken wir, dass wir ihn erkannt haben, wenn wir seine Gebote halten. 4 Wer sagt: Ich habe ihn erkannt, und hält seine Gebote nicht, der ist ein Lügner, und in dem ist die Wahrheit nicht. 5 Wer aber sein Wort hält, in dem ist wahrlich die Liebe Gottes vollkommen. Daran erkennen wir, dass wir in ihm sind. 6 Wer sagt, dass er in ihm bleibt, der soll so leben, wie er gelebt hat.
(Lutherbibel 2017)
Ehrenamtlicher Dienst zum 3. Sonntag nach Trinitatis
Dan inilah berita, yang telah kami dengar dari Dia, dan yang kami sampaikan kepada kamu: Allah adalah terang dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. 6 Jika kita katakan, bahwa kita beroleh persekutuan dengan Dia, namun kita hidup di dalam kegelapan, kita berdusta dan kita tidak melakukan kebenaran. 7 Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa. 8 Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. 9 Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan. 10 Jika kita berkata, bahwa kita tidak ada berbuat dosa, maka kita membuat Dia menjadi pendusta dan firman-Nya tidak ada di dalam kita.
Kristus pengantara kita
Anak-anakku, hal-hal ini kutuliskan kepada kamu, supaya kamu jangan berbuat dosa, namun jika seorang berbuat dosa, kita mempunyai seorang pengantara pada Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang adil. 2 Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.
3 Dan inilah tandanya, bahwa kita mengenal Allah, yaitu jikalau kita menuruti perintah-perintah-Nya. 4 Barangsiapa berkata: Aku mengenal Dia, tetapi ia tidak menuruti perintah-Nya, ia adalah seorang pendusta dan di dalamnya tidak ada kebenaran. 5 Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia. 6 Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.
(Alkitab Terjemahan Baru 1974)
Pemberitahuan Pelayanan Hari minggu Ketiga setelah Trinitatis
Khotbah: Majelis Sinode EKHN dan Ketua Centrum Oikumene, Pdt. Detlev Knoche
Liturgi: Bpk Frank Madrikan
Musik: Ibu Paula Simanjuntak
Pembacaan Alkitab: Bpk Jens Balondo
Sekolah Minggu: Sdri Inke Rondonuwu, Sdri Riany Lengkong
Berita Jemaat: Bpk Frank Madrikan
Konsumsi: Sukacita
Kunci: Bpk Jens Balondo
Strebt nach der Liebe! Bemüht euch um die Gaben des Geistes, am meisten aber darum, dass ihr prophetisch redet! 2 Denn wer in Zungen redet, der redet nicht zu Menschen, sondern zu Gott; denn niemand versteht ihn: im Geist redet er Geheimnisse. 3 Wer aber prophetisch redet, der redet zu Menschen zur Erbauung und zur Ermahnung und zur Tröstung. 4 Wer in Zungen redet, der erbaut sich selbst; wer aber prophetisch redet, der erbaut die Gemeinde. 5 Ich möchte, dass ihr alle in Zungen reden könnt; aber noch viel mehr, dass ihr prophetisch redet. Denn wer prophetisch redet, ist größer als der, der in Zungen redet; es sei denn, er legt es auch aus, auf dass die Gemeinde erbaut werde.
(Lutherbibel 2017)
Ehrenamtlicher Dienst zum 2. Sonntag nach Trinitatis
Predigt: Pfrin. Junita Rondonuwu-Lasut (Evangelische Indonesische Kristusgemeinde Rhein-Main)
Liturgie: Pfrin. Junita Rondonuwu-Lasut
Musik: Frau Sonya Mboeik
Bibellesung: Frau Inke Rondonuwu
Kindergottesdienst: Frau Tyagita Hidayat und Frau Dwi Hariwati
Abkündigung: Frau Roselien Rehfeldt
Verpflegung: Puji Syukur
Schlüsseldienst: Pfrin. Junita Rondonuwu-Lasut
Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat. 2 Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia. 3 Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. 4 Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat. 5 Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun.
(Alkitab Terjemahan Baru 1974)
Pemberitahuan Pelayanan Hari minggu Kedua setelah Trinitatis
Khotbah: Pdt. Junita Rondonuwu-Lasut (Evangelische Indonesische Kristusgemeinde Rhein-Main)
Liturgi: Ibu Pdt Junita Rondonuwu-Lasut
Musik: Ibu Sonya Mboeik
Pembacaan Alkitab: Sdri Inke Rondonuwu
Sekolah Minggu: Sdri Tyagita Hidayat, Ibu Dwi Hariwati
Berita Jemaat: Ibu Roselien Rehfeldt
Konsumsi: Puji Syukur
Kunci: Ibu Pdt. Junita Rondonuwu-Lasut
Die indonesische Bevölkerung stammt ursprünglich von austronesischen Völkern ab, die vor Beginn unserer Zeitrechnung in mehreren Einwanderungswellen ins Land kamen. Der Fund des Java-Menschen beweist, dass die Insel bereits vor ca. 1,8 Millionen Jahren besiedelt war.
Im ersten Jahrtausend n. Chr. gewannen der Buddhismus und der Hinduismus Einfluss auf Indonesien und verschmolzen mit Glaubensvorstellungen der ursprünglichen Bauernkultur. Wegen der günstigen Lage an der Seehandelsroute von China nach Indien blühte der Handel und es entstanden mehrere Handelsreiche.
Ab dem 15. Jahrhundert besuchten immer mehr arabische Händler Indonesien und die Konversion zum Islam begann. Hinduismus und Buddhismus überleben bis heute nur auf den Inseln Bali (siehe beispielsweise: Besakih) und Lombok, wo sich eine indigene (mehrheitlich aber hinduistisch geprägte) Mischkultur herausgebildet hat.
1487 umfuhr der Portugiese Bartolomeu Diaz erstmals das Kap der Guten Hoffnung und bereitete damit die Entdeckung des Seeweges nach Indien durch Vasco da Gama vor. In der Folge stießen die Europäer in den indonesischen Raum vor, um den bislang von Orientalen betriebenen Gewürzhandel zu übernehmen. Nach fast 100-jähriger portugiesischer Dominanz setzten sich um 1600 die Niederländer als Kolonialherren durch. Als Niederländisch-Indien war Indonesien eine der ersten holländischen Kolonien. Bis zum Jahr 1908 hatten die Niederlande, von Java ausgehend, ihren Machtbereich auf den gesamten indonesischen Archipel ausgedehnt.
Im Frühjahr 1942 begann die japanische Armee Niederländisch-Indien zu besetzen. Ihr Interesse galt kriegswichtigen Rohstoffreserven und der Verbesserung ihrer strategischen Position. Im März 1942 kapitulierten die Niederländer. Die fast 350-jährige Zeit ihrer Kolonialherrschaft war vorüber. Noch unter japanischer Besatzung erklärte sich Indonesien im März 1943 von den Niederlanden unabhängig. Die Herrschaft der Japaner endete am 15. August 1945 mit deren Kapitulation.
Die Pancasila wurde erstmals von dem späteren 1. Präsidenten Sukarno in seiner Rede am 1. Juni 1945 vor dem Untersuchungsausschuss zur Vorbereitung der Unabhängigkeit Indonesiens (BPUPKI) entworfen. Er wollte mit den mit den Fünf-Prinzipien der Absicht vieler Mitglieder des BPUPKI entgegentreten, Indonesien zu einem islamischen Staat zu machen. Sukarno befürchtete in diesem Fall die Sezession indonesischer Regionen mit nichtislamischer Bevölkerungsmehrheit wie zum Beispiel Bali.
Am 18. August 1945, einen Tag nach der offiziellen Unabhängigkeitserklärung Indonesiens, wurden die "Pancasila" in der folgenden Fassung erklärt.
Dies sind die fünf Grundsätze der nationalen Ideologie und Verfassung der Republik Indonesien, denen in dem Vielvölkerstaat eine identitätsbildende und homogenisierende Wirkung zugedacht ist:
Ketuhanan Yang Maha Esa / All-Einer göttlichen Herrschaft
- Glaube und Frömmigkeit an den allmächtigen Gott gemäß ihren jeweiligen Religionen und Überzeugungen auf der Grundlage einer gerechten und zivilisierten Menschheit.
- Respekt und Kooperation zwischen religiösen Anhängern und verschiedenen Gläubigen, um eine Harmonie des Lebens zu schaffen.
- Gegenseitige Achtung der Religionsfreiheit in Übereinstimmung mit Religion und Weltanschauung.
- Das Aufzwingen einer Religion oder Glaube ist untersagt.
Kemanusiaan yang adil dan beradab / Gerechte und zivilisierte Menschheit
- Anerkennung der Gleichheit der Geschlechter und der Gleichheit der Verpflichtungen zwischen den Mitmenschen.
- Menschliche Liebe.
- Haltung der Toleranz.
- Keine Willkürlichkeit gegen andere.
- Wert der Menschheit aufrecht erhalten.
- Humanitären Aktivitäten.
- Wahrheit und Gerechtigkeit verteidigen.
- Die indonesische Nation fühlt sich als Teil der gesamten Menschheit. Eine respektvolle Kooperation mit anderen Nationen wird vorrausgesetzt.
Persatuan Indonesia / Einheit von Indonesien
- Einheit, Interesse und Sicherheit der Nation und des Staates über persönliche oder Gruppeninteressen stellen.
- Bereitwillig Opfer zugunsten von Nation und Staat zu geben.
- Liebe das Vaterland und die Nation.
- Stolz der Nation und das Land Indonesien.
- Einhaltung der Einigkeit in der Vielfalt.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan / Demokratie, geführt von der Weisheit, Überlegungen und Repräsentationen
- Vorrang haben die Interessen von Staat und Gesellschaft.
- Nicht den Willen anderer auferlegen.
- Die Beratung priorisieren bei Entscheidungen für das Gemeinwohl.
- Einen Konsens über den Geist der Verwandtschaft zu erreichen.
- In gutem Glauben und in einem Verantwortungsbewusstsein, die Ergebnisse der Beratung akzeptieren und umzusetzen.
- Deliberation erfolgt mit gesundem Menschenverstand und in Übereinstimmung mit einem edlen Gewissen.
- Die getroffenen Entscheidungen müssen Gott dem Allmächtigen gegenüber moralisch rechenschaftspflichtig sein und die Würde des Menschen und die Werte von Wahrheit und Gerechtigkeit wahren.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia / Soziale Gerechtigkeit für alle Indonesier
- Entwicklung edler Taten, die die Haltung und Atmosphäre von Verwandtschaft und gegenseitiger Kooperation widerspiegeln.
- Fair sein.
- Ein Gleichgewicht zwischen Rechten und Pflichten pflegen.
- Das Recht anderer respektieren.
- Anderen helfen.
- Ablehnung von Erpressung gegen andere.
- Nicht extravagant sein.
- Kein üppiger Lebensstil.
- Keine Handlungen begehen, die dem öffentlichen Interesse schaden.
- Hartes zu arbeiten.
- Die Arbeit anderer schätzen.
- Gemeinsam nach einem gerechten und sozial gerechten Fortschritt streben.
Die 5 Grundsätze stehen im silbernen Band unter der Devise BHINNEKA TUNGGAL IKA, was so viel bedeutet wie „Einigkeit in der Vielfalt“.
1. Der goldene Stern auf dem schwarzen Schild in der Mitte des Wappens steht für den Glaube an einen Gott. (mit der Religion eines jeden, nach einer gerechten und zivilisierten Menschheit.)
2. Die goldene Kette in dem unteren rechten roten Feld besteht aus runden und eckigen Gliedern. Sie ist das Symbol für die Humanität in der Gesellschaft.
3. Im silbernen Feld rechts oben ein Banyam-Baum, der für die nationale Einheit steht.
4. Im roten Feld links oben, der Büffelkopf symbolisiert die Demokratie.
5. Im linken unteren Feld wird Reis und Baumwolle dargestellt, welche für soziale Gerechtigkeit und die Gleichheit von Mann und Frau stehen.
Präsident Joko Widodo hatte am 1. Juni 2016 den Präsidentenerlass (Keppres) Nr. 24 von 2016 den Geburtstag der Pancasila unterzeichnet und ihn ab 2017 als Nationalfeiertag festgelegt.